Senin, 12 Juli 2010

Masihkah Aku berhak melihatmu dalam pelaminan kayu?

Menunggu TURANGGA, Petang 16 Mei 2010

Gubeng...
Stasiun itu, kakimu tertumbuk sekolom pilar
Entah pilar yang mana...

Tatapanmu menandakan Kau tahan sakit itu
Dan kutak tau apa yang ingin Kau katakan,
Saat Kau lepas tangan dari alas kakimu...kulihat sekilas,
Kuku itu berdarah, lebam sebagian dengan lajur coklat tua
Kutau itu perih...
Kutau itu pilu...

Menangislah anakku...
Menangislah seperti layaknya anak kecil...
Menangislah manja seperti Mereka...
Menangislah agar hatiku berdosa, lepas dari pengawasanku...
Menangislah agar Kau bisa meminta sesuatu untuk membayarnya...
Menangislah agar Aq juga meresapi lengkingmu...

Tapi Kau tidak
Tapi Kau enggan
Kau panggul tanganku diketiakmu
Ku tau itu agar Aq membopongmu, menggendongmu...
Kuingin lama...
Tapi seperti biasa Kau turun dan bertingkah seakan2 tak terjadi apa-apa...

Wahai Putri Kecil...
Kau boleh punya baju seperti Aku
Tapi Kau harus punya perhiasan seperti Ibumu

Kau boleh punya celana seperti Aku
Tapi Kau harus punya kelembutan seperti Ibumu

Tatapanmu sebening cahaya
Hatimu sedalam lautan
Fisikmu setegar karang
Suaramu selembut alunan harpa surgawi
Dibeningnya...ditegarnya...Ada Aku
Didalamnya hati...dilembutnya suara...Ada Ibumu

Wahai Putri Kecil...
Inilah dirimu
gambaranmu saat dewasa menjelang
Wanita...
Bening dalam berpikir
Tegas dalam bertindak
Lembut dalam bersikap
Tegar dalam berpendirian

Wahai Putri Kecil...
Doa-doa yg kulepas dalam semilir malam
bangunkan genta langit, hentikan roda-roda kayu yang terseok lindas tapak-tapak beku
Pekatnya adalah hitam
Ketika Aku tak sempat saksikan Kau beranjak
Terangnya adalah perak
Ketika semua terkulai dalam usia

(Dan tak bisa saksikan matamu menangis dalam pelaminan kayu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar